Sejarah Kyai Chudlori ,Pondok pesantren TegalRejo
Sebagaimana  ditunjukkan Dhofier3, hampir semua pesantren besar di Jawa didirikan  oleh keturuna kiai. Dhofier menunjukkan bagaimana tiga puluh kiai  terkenal hampir semuanya pendiri atau pemimpin pesantren besar di Jawa –  mempunyai keturunan dari moyang yang sama, yaitu Kyai Shihah, pendiri  pesantren Tambak Beras, Jawa Timur, tahun 18314. Hiroko ketika melakukan  penelitian di Cipari Jawa Barat5 juga menemukan bahwa kiai dari  beberapa pesantren di daerah ini adalah keturunan Zaenal Abidin, seorang  ulama dan cikal bakal desa. Seorang Antropolog lain, Baeley mencatat  pola yang sama dari Nangoh, Jawa timur. Enam pesantren ini dibangun oleh  kyai-kyai keturunan Kyai Haji Munasan, pendiri pesantren pertama.6
Pesantren Tegalrejo yang didirikan oleh Kyai Chudlori pada tahun 1944,  merupakan pengecualian, karena pendirinya bukan berasal dari keluarga  kyai, tapi dari priyayi. Ayah Kyai Chudlori, Ihsan seorang penghulu di  Tegalrejo dibawah pemerintahan Belanda. Kakeknya, Abdul Halim, juga  seorang penghulu yang menangani administrasi urusan agama di daerah  pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi kecamatan Candimulyo,  Mertoyudan, Mungkid dan Tegalrejo. Pada zaman Belanda, seorang penghulu  dan keluarganya dihormati sebagai priyayi7.
Chudlori dilahirkan di  Tegalrejo, anak kedua dari sepuluh bersaudara. Ibunya,Mujirah adalah  putri Karto Diwiryo yang menjadi Lurah di Kali Tengah, dekat kota  kecamatan Muntilan. Meskipun seorang priyayi, ayah Chudlori menginginkan  paling tidak satu dai anak-anaknya menjadi kyai. Kenyataannya bahwa  Tegalrejo bukan kota religius, semakin menyakinkan dirinya untuk berbuat  sesuatu bagi para warganya. Abdullah (84), orang tua yang tinggal dekat  pesantren, menceritakan kepada saya bahwa desa – desa sebelah timir  Tegalrejo seperti Soroyudan, Tepus, mBalak, pernah menjadi sarang  bandit-bandit yang terkenal jahat. Perampokan, pencurian, perjudian, dan  sabung ayam tersebar luas.
Pada tahun 1923, setelah menyelesaikan  studinya di HIS (Hollandsch Inlandcsh School) Chudlori dikirim ayahnya  belajar di Pesantren Payaman, sebuah pesantren terkenal di kabupaten  Magelang yang diasuh oleh Kyai Siroj. Disini, Chudlori menghabiskan  waktu dua tahun dan menjadi apa yang digambarkan oleh Dhofier8 – santri  kelana yang pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, sesuatu  yang lazim dalam tradisi pesantren. Ia berusaha menguasai berbagai  cabang ilmu keislaman dimanapun ilmu itu diajarkan. Pengembaraan seperti  ini penting sekali, karena seperti ditulis Bailey9 “beberapa pesantren  mengkhususkan diri dalam ilmu ini dan beberapa pesantren lainnya  mengkhususkan diri dalam ilmu itu.”
Pesantren Koripan diasuh oleh  Kyai Abdan ketika Chudlori belajar disana. Kemudian Chudlori pindah  mengaji di Pesantren Kyai Rohmat di Gragab hingga tahun 1928. Setelah  menguasai beberapa kitab, khususnya kitab Fatchul Qorrib, dia semakin  bersemangat dan antusias sehingga pindah ke pesantren Tebu Ireng Jawa  Timur (Pesantren yang paling terkenal saat itu), yang dipimpin oleh  Hadrotusy Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Di Tebu Ireng , Chudlori menemukan  tanah air spiritualnya. Walaupun selama empat tahun (Mutharom, Biografi  K.H Chudlori,1984: 9-11), Chudlori mempelajari tata bahasa dan sastra  Arab seperti al-jumuriyah, al-Umrithi, ‘Izzi, Maqshud, Qowaidi I’rab dan  al-Fiyah, tapi masih ingin memperluas pengetahuan agamanya. Pada tahun  1933 pindah ke pesantren Bendo, Pare, Jawa Timur untuk menjadi santri  Kyai Chozin Muhajir. Disini dia mendalami fiqh dan mencurahkan tenaganya  pada tasawuf, dengan menguasai kitab tasawuf terkenal dengan Ihya’ Ulum  ad-Din karya Imam Ghazali.
Setelah empat tahun, Chudlori pindah ke  Pesantren Sedayu Jawa Timur untuk mempelajari Qiratul Qur’an, selama  tujuh bulan. Tahun 1937 pindah ke pesantren terakhir, Pesantren Lasem.  Pesantren yang berada di timur laut Jawa Tengah ini diasuh oleh dua  orang kiai terkenal Kiai Haji Ma’shum dan Kiai Haji Baidlowi. Ketika  sudah menguasai semua kitab yang diajarkan, Chudlori sering diminta oleh  Kiai Baidlowi untuk mengajar para santri lainnya. Di pesantren inilah  Chudlori menggali bakatnya sebagai seorang kiai. Meskipun tetap tinggal  di sana, Chudlori tidak begitu banyak balajar, karena harus mengabdi  pada kiai agar memperoleh karomah untuk memastikan bahwa dimasa yang  akan datang itu yang diperoleh dari para kiai itu akan tetap memiliki  potensi spiritual dan berkualitas.
Catatan sejarah kehidupan  Chudlori selama belajar di berbagai pesantren (nyantri) penuh dengan  cerita-cerita perjuangannya yang keras, keteguhan, kesalehan dan  kezuhudannya. Misalnya, ketika sedang belajar di pesantren Payaman, 12  km sebelah barat laut Tegalrejo, sebulan sekali pulang mengambil  perbekalan yang dibawa dengan cara dipanggul. Anak muda yang baru  memasuki umur belasan, harus memanggul satu karung beras dan perbekalan  lain di pundaknya, merupakan pekerjaan yang tidak pantas dan sesuatu  yang luar biasa bila dilakukan oleh seorang priyayi.
Rasdan (73),  yang mengenal keluarga Chudlori, menceritakan kepada saya bahwa ketika  Chudlori belajar di Tebu Ireng, ayahnya mengirim uang sebanyak Rp. 750,-  perbulan, tetapi Chudlori hanya menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan  sisanya. Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan  untuk merebus singkong tersebut. Dia melakukan ini dalam rangka  riyadlah, amalan yang biasa dilakukan para santri.
Kiai Idris, teman  Chudlori ketika belajar di Tebu Ireng, menuturkan cerita menarik  lainnya. Di kamarnya di Tebu Ireng, Chudlori membuat kotak belajar  khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut diantara loteng  dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya,  Chudlori naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi  dengan baik. Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk duduk.  Dus, dengan kedisiplinan dia dapat belajar setiap hari hingga tengah  malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, dia menghukum dirinya  sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur  (Mutharom, Biografi K.H Chudlori,1984: 9).
Setelah membaca kitab  Imam Al-Ghazali, dia berusaha dengan sungguh-sungguh mempraktekkan  ajaran tasawuf. Kehidupan sehari-harinya penuh amalan tasawuf, termasuk  berbagai macam bentuk puasa, salat tengah malam, membaca Al-Qur’an dan  dzikir. Ketika Chudlori masih belajar di Pesantren Bendo, seorang kiai  yang sangat terkemuka di daerah Magelang, yakni Kiai Dalhar, pimpinan  pesantren Watu Congol menawari Chudlori untuk menikahi putrinya. Namun  pada tahun 1937 baru saja pindah dari Pesantren Bendo ke Pesantren  Lasem, ayahnya, Ihsan meninggal dunia sehingga pernikahannya ditunda.  Dua tahun kemudian, ketika keluarganya diminta Kiai Dalhar untuk  melaksanakan akad nikah, Chudlori pergi dari Lasem tanpa sepengetahuan  keluarganya. Seorang kerabat yang tinggal di Surabaya menemukan Chudlori  sedang menjalani uzlah di makam ‘keramat’ Batu Ampar, di Pulau Madura.  Dia menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk menjalankan praktek mistik  di kuburan keramat ini. Di sana dia dijemput oleh keluarganya dan tahun  1940 akhirnya Chudlori mengakhiri status lajangnya dengan menikahi  putri Kiai Dalhar.
Pesantren Tegalrejo dan Perkembangannya
Setelah pernikahannya, Chudlori diminta mertuanya tinggal dan mengajar  di pesantren Watu Congol, Muntilan, 22 km barat daya Tegalrejo. Sebagai  menantu seorang kiai terkenal dan seorang kiai muda di pesantren  terkenal, Chudlori mulai menempati posisi yang relatif tinggi, khususnya  dalam konteks dunia pesantren sendiri di desa kelahirannya, Tegalrejo.
Keinginan ini bukan hanya didasarkan pada pertimbangan rasional semata.  Sebelum membuat keputusan yang terakhir, ia melakukan mujahadah setiap  malam Jum’at di makan keramat Raden Santri, yang terletak di puncak  bukit Gunung Pring, 2 km sebelah selatan Watu Congol agar memperoleh  petunjuk spiritual dan restu Allah. Setelah melakukan mujahadah setiap  minggu selama setahun, pada hari Jum’at dini hari, sekitar pukul 03.00  tahun 1943, ia merasa menerima petunjuk yang jelas bahwa keinginannya  direstui Allah. Malam itu, ketika peziarah yang mengunjungi makam  ‘keramat’ itu sudah pulang, dan Hasyim, santri yang menemani Chudlori  sudah tertidur, suara menggelegar yang tidak disangka-sangka muncul dari  dalam makam. Badan Chudlori gemetar dan sekujur tubuhnya basah oleh  keringat. Tapi hatinya tetap tenang. Chudlori menafsirkan kejadian ini  sebagai petunjuk Tuhan bahwa niatnya untuk mendirikan pesantren baru  Tegalrejo direstui.
Chudlori membangunkan Hasyim untuk diajak  pulang. Di tengah perjalanan dia menceritakan kepada Hasyim apa yang  baru saja dialaminya dan meminta Hasyim untuk menyampaikan maksunya  melaksanakan iqamah (keinginan mulai mengelola pesantrennya sendiri)  pada mertuanya. Kiai Dalhar merestui rencana tersebut. Pada tanggal 15  September 1944 Chudlori kembali ke desanya, Tegalrejo dan pada hari itu  juga pesantren Tegalrejo secara formal didirikan.
Beberapa keluarga  Muslim di desa sekitarnya mendengar kembalinya Chudlori dan mengirimkan  anak laki-laki mereka untuk menjadi santrinya. Pada awalnya ada 8 santri  di Pesantren Tegalrejo yaitu Hasyim, Muhasyim, Idris Tarui, Muhiyat,  Abdullah, Fachrurozi, Muhammad Barin dan Syiraj. Semuanya berasal dari  desa-desa terdekat. Kini Chudlori terkenal dengan kiai baru. Pesantren  tersebut juga menarik dukungan dari orang-orang Islam yang kaya.  Diantara mereka adalah Haji Dahlan dari Magelang yang membangun bangunan  pesantren ini.
Pada tahun 1947, Belanda melancarkan agresi militer  pertama yang kemudian diikuti dengan agresi militer kedua tahun 1948  (M.Cricklefe, 1987:213-218). Tegalrejo sebagaimana daerah lainnya,  menjadi benteng pejuang gerilyawan Indonesia. Kiai Chudlori memberikan  izin terhadap sebagian dari santrinya untuk terlibat dalam perang  gerilya. Aktivitas-aktivitas rutin pesantren terhenti, dan bangunan  pesantren dibongkar oleh Belanda untuk dijadikan barak di Pakis, 4 km  sebelah timur Tegalrejo. Rumah kiai dirampas untuk markas militer  Belanda di daerah ini. Kiai Chudlori dan keluarganya harus melarikan  diri, pindah dari satu desa ke desa lainnya di pedalaman.
Saat  kepergian Kiai Chudlori dari Tegalrejo ini disebut masa fatroh (vakum).  Para sesepuh desa Soroyudan, seperti Karto Peni dan Sastromiharjo masih  ingat bahwa pada masa ini Kiai Chudlori sering berziarah ke makam Kiai  Abu Yamin di Tejo, dan makam Kiai Abdul Mu’in di desa Sekembeng. Kiai  Chudlori juga meluangkan waktunya untuk mendakwahi para pemimpin  penjahat. Parto Tepus dari Desa Surodadi, seorang bandit yang paling  terkenal jahatnya waktu itu diajak masuk Islam oleh Kiai Chudlori dan  akhirnya menjadi salah seorang pengikutnya yang paling setia. Dengan  penuh rasa penyesalan, Parto Tepus yang kini sudah berusia delapan  puluhan tahun bercerita pada saya:
Hingga tahun 1949, saya adalah  pemimpin bandit yang sangat terkenal jahatnya. Saya melakukan semua  bentuk kejahatan dan kriminalitas seperti perjudian, perampokan,  pemerasan dan bermain perempuan. Karena kemasyhuran saya sebagai seorang  yang kebal (jadug) membuat orang takut kepada saya. Jika saya  menginginkan uang, sering kali saya hanya memerintahkan orang yang akan  menjadi korban untuk meninggalkan sejumlah uang pada waktu dan tempat  yang sudah ditentukan dan mereka melakukan. Pada saat itu barangkali  saya adalah manusia yang paling jahat di dunia. Pada suatu hari ditahun  1949, saya ditimpa musibah. Saya mengalami sakit yang parah. Saya  berobat ke beberapa dokter di Magelang. Saya juga berobat dengan banyak  dukun, tetapi tidak sembuh. Selama berbulan-bulan saya hanya berbaring  di tempat tidur. Sungguh tidak disangka-sangka suatu hari Kiai Chudlori,  dengan ditemani dua santrinya menjenguk saya. Setelah berbicara sejenak  dengan saya dan istri saya, beliau minta segelas air dan kemudian  melafalkan doa di gelas tersebut. Sembari menyuruh saya minum, beliau  berkata: “Sesungguhnya Anda tidak sakit, ini tidak lain hanya kehendak  Tuhan untuk mengurangi dosa anda!” Saya benar-benar terpesona dengan  kata-kata kiai itu sehingga saya bertanya pada beliau: mungkinkah orang  seburuk saya bisa bertaubat?” Kiai menjawab “Pintu kemurahan dan belas  kasih Tuhan jauh lebih besar dari dosa anda!” Mendengar jawaban semacam  itu secara spontan saya menangis, tindakan yang tidak pernah saya alami  dan lakukan sebelumnya. Pada saat itu pula saya mengatakan harapan saya  untuk bertaubat dan menjadi seorang Muslim. Disaksikan oleh istri dan  dua orang santri, Kiai Chudlori menuntun saya mengucapkan dua kalimah  syahadat. Mulai saat itu saya mengakhiri kelakuan jahat dan menjadi  pengikut Kiai Chudlori agar menjadi seorang Muslim yang saleh.
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Biografi kh. Chudlori ada bukunya tidak ya? menarik sekali ceritanya..
ReplyDelete