Cerita syekh Bela Belu Syekh  Belabelu adalah salah satu keturunan                dari Prabu  Brawijaya terakhir. Ia mempunyai nama kecil Raden Jaka                 Bandem. Pada awalnya Raden Jaka Bandem tidak bisa menerima agama                 Islam. Oleh karena itu pulalah ia menyingkir dengan menyusuri  pantai                selatan ke arah barat sampai di perbukitan  Parangtritis.
               
 
 
  
Tidak                 ada sumber yang dapat menjelaskan mengapa dari nama  Raden Jaka Bandem                ini kemudian berubah menjadi Syekh  Belabelu. Raden Jaka Bandem ini                dalam pengembaraannya  kemudian menetap di bukit yang sekarang termasuk                dalam  wilayah Kalurahan Mancingan. Di bukit ini Syekh Belabelu mempunyai                 kegiatan membuat patung. Patung-patung yang dibuat antara lain  berupa                patung Punakawan dan Banteng. Oleh karena  keberadaan patung Banteng                itu pula, maka bukit yang  didiami Syekh Belabelu ini dinamakan Bukit                atau Gunung  Banteng yang sekarang termasuk dalam wilayah administrasi                 Dusun Mancingan, Kalurahan Parangtritis, Kretek, Bantul, Yogyakarta.                 Di bukit inilah Syekh Belabelu tinggal bersama Syekh  Damiaking sampai                meninggalnya. Dalam cerita tutur  setempat disebutkan bahwa Syekh                Belabelu adalah kakak  beradik dengan Syekh Damiaking. Akan tetapi                versi lain  menuturkan bahwa mereka hanyalah dua saudara seperguruan. 
Berkaitan                 dengan dua patung yang dibuat Syekh Belabelu itu sampai  sekarang                masih ada. Patung yang diidentifikasikan sebagai  Banteng ini sekarang                terletak di sebelah timur kompleks  makam, tepatnya di sisi dinding                selatan gedung  peristirahatan bagi peziarah. Patung ini kondisinya                sudah  rusak. Bagian kepala patung tampak terpenggal dan hilang.                 
Hari                 paling ramai untuk kunjungan peziarahan di makam Syekh  Belabelu                dan Damiaking adalah hari Jumat. 
Banyak  peziarah datang ke tempat                ini dengan berbagai  permohonan. Sesuai tradisi setempat siapa pun                yang merasa  berhasil setelah memohon sesuatu di tempat ini kemudian                 mengadakan syukuran dengan membuat persembahan (caos dhahar) berupa                 nasi liwet ayam. Nasi liwet ayam adalah nasi yang ditanak  setengah                matang kemudian didalamnya diberi ingkung ayam  yang telah dimasak                matang. Nasi dan ayam yang telah  dimasak itu kemudian dimasak terus                hingga nasinya menjadi  matang. Jika semua selesai barulah makanan                berupa nasi  liwet ayam itu dipersembahkan melalui jurukunci setempat                 yang untuk saat ini dipegang oleh Bapak Surakso Suwela (70).
Jalan                 mendaki ke kompleks makam ini telah diperkeras dengan  beton serta                dibuat berundak-undak. Dari kompleks makam  ini peziarah dapat menikmati                pemandangan pantai  Parangtritis dengan laut selatan (Samudra Indonesia).
Batu                 nisan Syeh Belabelu dan Syekh Damiaking diletakkan  berdampingan.                Ukuran kedua nisan sama, yakni panjang 195  Cm, lebar 60 Cm, tinggi                55 Cm. 
Sedangkan                 peninggalan lain yang berupa patung Lembu Nandi, patung  Agastya,                dan dua buah batu andesit. Patung Lembu Nandi  memiliki ukuran lebar                43 Cm, tinggi 40 Cm, dan panjang 82  Cm. Patung Agastya memiliki                ukuran tinggi 28 Cm, tebal  15 Cm, dan lebar 20 Cm. 
Dua                 buah batu andesit berbentuk persegi yang terdapat di  sisi barat                (kanan) cungkup mempunyai ukuran panjang 100  Cm, lebar 50 Cm, dan                tebal 20 Cm. Sedang sisi batu  persegi yang terdapat di sebelah sebelah                kiri (timur)  cungkup memiliki ukuran panjang 90 Cm, lebar 37 Cm,                 tebal/tinggi 16 Cm.
Cungkup                 makam Syeh Belabelu dan Syekh Damiaking memiliki sebuah  pintu menghadap                ke selatan/pantai. Ukuran cungkup  panjangnya 6,8 meter, tinggi 2,8                meter, dan lebar 4  meter. Cungkup telah diberi lantai keramik berwarna                 abu-abu (bawah). Sedangkan lantai atas juga telah dikeramik berwarna                 putih.
Di                 samping bercungkup, kompleks makam Syekh Belabelu dan  Damiaking                juga dilengkapi dengan tempat peristirahatan  bagi para peziarah                (pesanggrahan). Tempat peristirahatan  ini memiliki arah hadap ke                barat.
Kompleks                 makam ini juga dikelilingi oleh pagar tembok dengan  ukuran tembok                tertinggi 90 Cm dan terendah 80 Cm. Tebal  tembok pagar makam adalah                29-36 Cm. Kompleks makam ini  juga dilengkapi dengan pintu gerbang/gapura                menghadap ke  barat. Lebar pintu gapura adalah 2 meter, tinggi gapura                 2,1 meter. Kompleks makam ini dinaungi 3 buah pohon asam yang cukup                 besar dan tua.
Babad  Demak menyebutkan bahwa setelah  Majapahit runtuh karena serangan Demak,  banyak putra-putri keturunan  Brawijaya yang mengungsi menyelamatkan  diri. Salah satunya ialah Raden  Dhandhun, putra Prabu Brawijaya dari  selir.
Dalam usia yang masih terbilang   muda, Raden Dhandhun terpisah dari keluarganya, keluar masuk hutan,   mendaki gunung, menuruni jurang, terlunta-lunta tak jelas arah   tujuannya.
Hingga pada suatu ketika Raden   Dhandhun tiba di Desa Mancingan, Yogyakarta. Pada waktu itu, di   Mancingan ada seorang pendeta Budha (Hindu?) yang sangat mumpuni ilmu   agamanya dan bernama Kyai Selaening. Oleh sang pendeta, Raden Dhandhun   diganti namanya menjadi Kyai Bela-belu untuk keperluan penyamaran   identitas.
Beliau diperintahkan untuk ke   puncak gunung sebelah barat Gunung Sentana yaitu setelah Gunung   Bantheng. Kyai Bela Belu ini sejak tiba sudah terlihat kalau ia rajin   melakukan tapa. Ia biasa tidak tidur hingga tiga sampai empat hari.   Tetapi, Raden Dhandhun tidak kuat menahan lapar, sebentar-sebentar ia   harus makan. Sebab, tiap hari ia biasa makan tiga sampai empat kali.   Kesukaannya adalah nasi ayam liwet yaitu nasi yang dimasak menggunakan   santan kelapa dan dalamnya diisi dengan daging ayam.
Karenanya, kemudian Kyai   Selaening meminta Raden Dhandhun untuk mencuci beras di Sungai Beji,   sebelah utara Parangendhog, kira-kira 5 km dari Gunung Bantheng. Dengan   cara seperti itu nafsu makannya dapat dikurangi menjadi sekali dalam   sehari.
Saking gemarnya melakukan ulah   batin, Kyai Bela Belu pun kemudian memperoleh kelebihan yang bisa   digunakan untuk menolong warga desa sekitarnya. Karena itu, sampai   makamnya saja hingga kini masih dianggap keramat. Setelah Kyai Selaening   masuk Islam, Kyai Bela Belu juga ikut pula masuk Islam. Oleh Syekh   Maulana, Kyai Bela Belu diberikan sebutan sebagai Syekh yang berarti   sang guru, meskipun beliau adalah seorang putra raja.
Babad tidak menyebutkan apakah   Kyai Bela Belu itu menikah atau tidak. Sebab tidak ada orang yang   mengaku sebagai keturunannya Syekh Bela Belu. Bahkan setelah wafat pun   tidak ada yang tahu dimana makam beliau yang sesungguhnya. Tetapi yang   pasti, makamnya terdapat di sebelah barat Gunung Sentana. Letak makam   Syekh Bela Belu baru ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IV   sewaktu ia berkuasa.
Seperti yang disebutkan oleh R.   Ng. Djadjalana dalam Bab Pesanggrahan Parangtritis tahun 1933.   Disebutkan sekitar tahun 1830 di Grogol (sebelah utara Parangtritis) ada   seorang sesepuh desa yang juga menjabat sebagai Demang Pemajegan   (Pemaosan) yang masih merupakan keturunan dari Kyai Selaening dan sering   melakukan tapa. Pada suatu malam tatkala Demang Pemajegan pergi ke   Segara Kidul (Laut Selatan), ia melihat cahaya rembulan yang tampak dari   balik Gunung Sentana dan jatuh di Gunung Bantheng. Di lain hari lagi,   ia melihat cahaya seperti tugu yang terus amblas di Gunung Bantheng.   Kejadian ini dialami berkali-kali. Kemudian Lama-lama tempat jatuhnya   cahaya di Gunung Bantheng ini ditandainya dengan tanda dari kayu.
Kejadian ini kemudian   diceritakannya kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IV sekalian memohon izin   untuk menggali dasar dari patok makam, siapa tahu diketemukan   benda-benda yang aneh. Setelah disetujui, dilakukanlah penggalian. Pada   saat itu ditemukan obyek berupa empat buah batu hitam yang berjejeran,   dua di utara dan dua di selatan. Seperti makam yang berdampingan tetapi   tanpa nisan yang membedakannya.
Di dekatnya ditemukan sebuah   lempengan batu hitam bergambar �ilir� (semacam kipas dari anyaman   bamboo) dan �iyan� (semacam tampah yang juga terbuat dari anyaman   bamboo). Dimana �iyan� dan �ilir� adalah alat untuk mendinginkan nasi,   yakni setelah nasi �diler� di tampah barulah dikipasi dengan kipas tadi.
Kejadian atas temuan inipun   kemudian diberitahukan kepada Sri Sultan. Dan dilihat dari   diketemukannya gambar �ilir� dan �iyan�, Sri Sultan pun kemudian   menetapkan bahwa kuburan itu adalah makamnya Syeh Bela Belu. Sedangkan   yang di sebelahnya adalah makam adiknya Kyai Dami (Gagang) Aking, yang   juga terkenal akan tapa tanpa henti hingga lupa akan makan dan minum.
Karena kesungguhan Syekh Bela   Belu dan juga Kyai Gagang Aking dalam melakukan tapa, maka keduanya   kemudian bisa mencapai apa yang dicita-citakan, yaitu �pencerahan�.
Kemudian atas perintah Sri   Sultan pulalah makam di Gunung Bantheng ini kemudian dicungkup kayu   jati. Bagian luarnya dilapisi menggunakan batu hitam dan atasnya   dilangse. Kini, makam dijaga oleh abdi dalem keraton yang juga adalah   penjaga makam dari Syekh Maulana.
Selain kisah di atas, Syekh Bela   Belu serta adiknya Syekh Dami Aking juga diyakini sebagai murid dari   Sunan Kalijaga, yang diperintahkan untuk melakukan tapa di sebuah tempat   yang kemudian dikenal sebagai Pertapaan Lemah Putih, yang sangat   melegenda di daerah Nganjuk, Jawa Timur.
  
No comments:
Post a Comment