Bismillahirrohmaanirrohiim
perhatian; bagaimana ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan bagaimana ia menginap di rumah Rasulullah sementara ‘Ali menggantikan tempat tidur Nabi saat orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu, Rasulullah meninggalkan Makkah dan bersembunyi di gua Tsaur. Sementara orang kafir mengancam nyawanya.
perhatian; bagaimana ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan bagaimana ia menginap di rumah Rasulullah sementara ‘Ali menggantikan tempat tidur Nabi saat orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu, Rasulullah meninggalkan Makkah dan bersembunyi di gua Tsaur. Sementara orang kafir mengancam nyawanya.
Fathimah  sangat besar perjuangannya. Dia adalah putri dari seorang yang suci.  Dia sendiri suci. Dari rahimnya yang suci, kita pernah mendengar nama  Al-Hasan dan Al-Husain yang ikut bersama kakeknya ketika akan melakukan  mubahalah (perang doa) dengan pendeta Bani Najran. Ia juga melahirkan  Zainab yang kelak harus meninggalkan Mesir. Dari keturunan Zainab inilah  kelak Imam Syafi’I mendapat tempat dan perlindungan. Juga membuka  pesantrennya.
Jika  pada tanggal 10 Dzulhijjah orang-orang Islam bergembira ketika memotong  leher kambing dan onta, hari itu hati yang bersih menjerit menangis  ketika penguasa yang zalim memotong leher orang yang paling dicintai  Rasulullah Saw.. Jika dulu Fathimah Az-Zahra membukakan pintu kepada  Rasulullah ketika akan menemui Al-Husain, hari itu para wanita segera  menutup wajahnya dengan niqab untuk menyembunyikan keperihan hatinya  ketika melihat kepala Al-Husain diarak. Jika dulu Rasulullah sering  mendekap dan menciumnya, hari itu wajah yang sering didoakan Rasulullah  itu dihinakan. Bahkan ketika sudah menjadi mayat, giginya masih  diantuk-antuk dengan ujung pedang. Padahal, jenazah orang kafir saja  kita disuruh menghormati.
Akan  tetapi Al-Husain justru harum dengan darahnya. Sama seperti airmata  Zainab yang menyelamatkan ‘Ali Ausath, satu-satunya putra Al-Husain yang  masih tersisa dari pembantian. Airmata itu sampai sekarang tetap  mengalir di dada kaum muslimin yang tahu hak mereka, bercampur dengan  darah Al-Husain yang harum.
Pelajaran  kadang memang harus pahit. Namun peristiwa di tanah duka (Karbala) itu  rasanya terlalu pahit. Hanya Al-Husain yang sanggup memikul kemuliaan  itu. Kita yang mencintai leher kita, apalagi kita masih mencintai sapu  tangan dan keramik unik, tidak cukup layak untuk mendapatkan kehormatan.  Alangkah tingginya Al-Husain dan keturunannya. Alangkah jauhnya kita  darinya. Lantas, apakah masih ada alasan untuk bersombong di hadapan  kemuliannya?
Kita  memang terlalu jauh dari derajat Al-Husain. Bahkan untuk layak disebut  sebagai golongan yang mencintainya saja, entah layak entah tidak.  Sekadar meniru An-Nasa’I saja, saya belum yakin kita mempunyai cukup  keberanian dan ketegaran. Sekarang, tangan kita lecet sedikit saja sudah  membuat wajah kita muram dan mulut meringis. Padahal An-Nasa’i  merelakan nyawanya demi kecintaannya. Sama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal  yang bersedia dipukuli penguasa. Sama seperti Imam Syafi’i yang konon  adalah imam kaum muslim Indonesia, sebab mayoritas umat Islam Indonesia  bermadzab Syafi’iyah meskipun kadang masih mencela orang yang  melaksanakan qaul (pendapat hasil ijtihad) Imam Syafi’i. Dan kita tahu,  mereka semua adalah ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Ah,  sudahlah. Dengan rasa malu atau tidak sama sekali, kita harus mengakui  betapa jauhnya kita dari orang-orang terdahlu. Sangat jauh.
Meskipun  demikian, masih ada yang dapat kita ambil. Kita dapat melihat kembali  sebagian kecil teladan Fathimatuz Zahra sehingga mempunyai keturunan  yang mulia sampai generasi-generasi yang jauh sesudahnya, termasuk  Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani maupun Sayyid ‘Abdullah Haddad.
Keteladanan  Fathimatuz Zahra mencakup kedekatan kepada Allah, kuatnya dalam  menegakkan shalat malam, khusyuknya dalam berzikir, kesetiaannya yang  sangat luar biasa kepada suami, serta kuatnya kecintaan dan perhatian  kepada anak-anaknya. Hari ini, insya-Allah kita akan mencoba melihat  bagaimana Fathimah Az-Zahra mendidik dan membesarkan putra-putrinya.  Sedangkan keteladanan lain, silakan periksa sendiri. Tentu saja,  membicarakan Fathimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha tidak bisa lepas dari  pembicaraan mengenai suaminya ‘Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah dan  ayahnya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kepada anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian, pengorbanan, keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain.
Imam  Nawawi al-Bantani (Al-Jawi) pernah menuliskan keagungan Fathimah  Az-Zahra ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami-istri. Berikut  ini saya kutip dari Uqudul Lujain karya Imam Nawawi Al-Bantani.
Suatu hari Rasulullah Saw. Menjenguk Az-Zahra. Ketika itu ia sedang membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis.
“Kenapa menangis, Fathimah?” Tanya Rasulullah, “Mudah-mudahan Allah tidak membuatmu menangis lagi.”
“Ayah,”  Fathimah menjawab, “aku menangis hanya karena batu penggiling ini, dan  lagi aku hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.”
Rasulullah  kemudian mengambil tempat duduk di sisinya, kata Abu Hurairah. Fathimah  berkata, “Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada ‘Ali supaya  membelikan seorang budak untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat  tepung dan menyelesaikan pekerjaan rumah.”
Setelah  mendengar perkataan putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat duduknya  dan berjalan menuju tempat penggilingan. Beliau memungut segenggam  biji-bijian gandum dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca  bismillahir rahmanir rahim maka berputarlah alat penggiling itu atas  ijin Allah. Beliau terus memasukkan biji-bijian itu sementara alat  penggiling terus berputar sendiri, sambil memuji Allah dengan bahasa  yang tidak dipahami manusia. Ini terus berjalan sampai biji-bijian itu  habis.
Rasulullah  Saw. berkata kepada alat penggiling itu, “Berhentilah atas ijin Allah.  Seketika alat pengiling pun berhenti. Beliau berkata sambil mengutip  ayat Al-Qur’an, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan  keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.  Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak pernah  mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mereka selalu  mengerjakan segala yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Merasa  takut jika menjadi batu yang kelak masuk neraka, tiba-tiba batu itu  bisa berbicara atas ijin Allah. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang  fasih. Batu itu berkata, “Ya, Rasulallah. Demi Dzat yang Mengutusmu  dengan hak menjadi Nabi dan Rasul, seandainya engkau perintahkan aku  untuk menggiling biji-bijian yang ada di seluruh jagat Timur dan Barat,  pastilah akan kugiling semuanya.”
Dan  aku mendengar pula, kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah ini,  bahwa Nabi Saw. bersabda, “Hai Batu, bergembiralah kamu. sesungguhnya  kamu termasuk batu yang kelak dipergunakan untuk membangun gedung  Fathimah di surga.”
Seketika itu, batu penggiling itu bergembira dan berhenti.
Nabi  Saw. bersabda kepada putrinya, Fathimah Az-Zahra, “Kalau Allah  berkehendak, hai Fathimah, pasti batu penggiling itu akan berputar  sendiri untukmu. Tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan  untuk dirimu dan menghapus keburukan-keburukanmu, serta mengangkat  derajatmu.
Hai  Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan  anak-anaknya, maka Allah mencatat baginya memperoleh kebajikan dari  setiap butir biji yang tergiling, dan menghapus keburukannya, serta  mengangkat derajatnya.
Hai  Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingnya  karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah menjauhkan  antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.
Hai  Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan  menyisirkan rambut dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatatkan  untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi makan  seribu orang yang sedang kelaparan dan seperti orang yang memberi  pakaian seribu orang yang telanjang.
Hai  Fathimah, setiap istri yang mencegah kebutuhan tetangganya, maka Allah  kelak akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk minum  dari telaga Kautsar pada hari kiamat.
Hai  Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan suami  terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak  akan mendoakan dirimu. Bukankah engkau mengerti, Hai Fathimah, bahwa  ridha suami itu bagian dari ridha Allah, dan kebencian suami merupakan  bagian dari kebencian Allah.
Hai  Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para malaikat memohon  ampun untuknya, setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu  kebajikan, dan seribu keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa  sakit (menjelang melahirkan) maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh  pahala seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Apabila  telah melahirkan, dirinya terbebas dari dosa seperti keadaannya setelah  dilahirkan ibunya.
Hai  Fathimah, setiap istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar,  maka dirinya terbebas dari dosa-dosanya seperti pada hari dirinya  dilahirkan ibunya. Ia tidak keluar dari dunia (yakni mati) kecuali tanpa  membawa dosa. Ia menjumpai kuburnya sebagai pertamanan surga. Allah  memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah, dan  seribu malaikat memohonkan ampunan untuknya hingga hari kiamat.
Setiap  istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam hari disertai  hati yang baik, ikhlas, dan niat yang benar, maka Allah akan mengampuni  dosanya. Pada hari kiamat kelak dirinya diberi pakaian berwarna hijau,  dan dicatatkan untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhnya dengan  seribu kebajikan, dan Allah memberi pahala kepadanya sebanyak seratus  pahala orang yang berhaji dan berumrah.
Hai Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di muka suaminya, maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat.
Hai  Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama suaminya  dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari  langit. ‘Hai wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya  Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang.
Hai  Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut suaminya, demikian pula  jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka kelak Allah  akan memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak jernih yang  tersegel) dan dari sungai yang ada di surga. Bahkan kelak Allah akan  meringankan beban sakaratul maut. Kelak ia akan menjumpai kuburnya  bagaikan taman surga. Allah mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah  melewati sirath (titian).
Mihrab  Agung Orang-orangTercinta Lima orang anak yang dikaruniakan Allah Swt.  Kepada Az-Zahra, yaitu Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhsin  –yang meninggal keguguran ketika masih berupa janin dalam rahim sucinya.  Ummu Kultsum kelak dinikahi oleh Umar bin Khaththab karena keinginan  Umar yang kuat untuk bersambung ikatan darah dengan Rasulullah.
Fathimah  Az-Zahra mendidik sendiri dua putra dan dua putri yang diamanahkan  Allah Swt. kepadanya. Ia susui anak-anaknya dengan air susunya sendiri.  Ia rawat anak-anaknya dengan tangannya sendiri.
Ia  memilih untuk mendekap anaknya sendiri, meskipun kepayahan bekerja dan  ada orang yang mau menggantikan, karena ibulah yang bisa menyayangi  anaknya, bukan orang lain –termasuk baby-sitter. Padahal sekarang  ibu-ibu muda kadang memilih untuk bisa makan dengan tenang dan enak,  sedangkan menggendong anak biar dikerjakan oleh baby-sitter.
Mari kita dengarkan cerita dari Bilal, muadzin Rasulullah:
“Saya melewati Fathimah yang sedang menggiling,” kata Bilal, “sementara anaknya menangis.”
“Saya  berkata kepadanya,” kata Bilal melanjutkan. “Jika engkau mau, biar aku  yang memegang gilingan dan engkau memegang anak itu. Atau, aku yang  memegang anak itu dan engkau memegang gilingan.”
Ia berkata, “Aku lebih dapat mengasihi anakku daripada engkau.”
Sebagaimana  istrinya, Sayyidina Ali juga menolak orang membawakan makanan yang akan  diberikan kepada anaknya (masyaAllah, betapa hati-hatinya beliau  menjaga kebarakahan). Shalih, seorang pedagang pakaian pernah mendapat  cerita dari neneknya, “Saya melihat Ali karamallahu wajhahu membeli  kurma dengan harga satu dirham, lalu beliau membawanya dibungkus  selimut. Saya berkata kepadanya atau seseorang berkata kepadanya, ‘Saya  yang akan membawanya, wahai Amirul Mukminin.’ Beliau berkata, ‘Jangan!  Kepala keluarga lebih berhak membawanya.’”
Kisah  ini disampaikan oleh Imam Bukhari. Jabatan Imam Ali saat itu adalah  khalifah, Amirul Mukminin. Pada masa sekarang, jabatan itu lebih tinggi  daripada presiden atau raja sebuah negara, sebab kekuasaannya meliputi  negeri-negeri lain. Tetapi untuk membawakan makanan anak, Amirul  Mukminin tidak mau menyerahkan kepada orang lain.
Jabir  Al-Anshari menceritakan bahwa Nabi melihat Fathimah sedang menggiling  dengan kedua tangannya sambil menyusui anaknya. Maka mengalirlah airmata  Rasulullah.
“Anakku,” katanya, ”engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat.”
Fathimah  mengatakan, “Ya Rasulallah, segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya, dan  pernyataan syukur hanyalah untuk Allah atas karunia-Nya.”
Lalu Allah menurunkan ayat, “Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberimu karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Kepada  anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian, pengorbanan,  keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain sejauh ia berdiri di atas  kebenaran. Sehingga kita mendapati, dalam situasi yang penuh ketakutan  dan leher sewaktu-waktu bisa terputus, Zainab masih bisa menghadap Ibnu  Ziyad dengan penuh ketegaran. Kesedihan yang teramat sangat ketika  hampir semua saudara, kemenakan, sanak-kerabat, dan sahabat menjadi  mayat berserakan, tidak membuatnya kehilangan keberanian dan ketegaran  untuk mengatakan apa yang seharusnya dikatakan. Mengatakan kebernaran.
Ketika  Ibnu Ziyad menghina Zainab dengan perkataan, “Puji Tuhan yang telah  mempermalukan dan menyingkap dusta kalian. Puji Tuhan yang telah  mengobati rasa dendam dan kesumatku kepada saudaramu.”; Zainab menjawab  dengan tegar, tanpa rasa takut. “Puji Tuhan yang telah menganugerahi  kami keutamaan syahadah. Puji Tuhan yang telah menetapkan kenabian pada  keluarga kami. Kekalahan dan kenistaan adalah milik kalian wahai  orang-orang zalim dan fasik. Syahadah adalah kebanggaan, bukan  kenistaan. Orang-orang zalimlah yang suka berbohong, bukan kami. Kami  ahli hakikat. Semoga Tuhan mencabut nyawamu, wahai anak marjanah!”
Ibnu  Ziyad dan orang-orang yang hadir kaget mendengar kata “marjanah”,  wanita lacur. Ibnu Ziyad sangat tertampar dengan kata itu, sehingga ia  berkata, “sudah begini kalian masih berani angkat suara.”
Ibnu  Ziyad mengambil kesempatan bicara dengan ‘Ali Ausath, kelak dikenal  dengan gelar ‘Ali Zainal ’Abidin. Dia pun memberi jawaban yang tak kalah  pedasnya dengan Zainab, padahal dia masih sangat kecil (bandingkan  dengan anak TPG/TPA sekarang). Kemudian Ibnu Ziyad memanggil algojo,  tukang jagal manusia, untuk memotong kepala ‘Ali Zainal ’Abidin.  Tiba-tiba Zainab bangkit dan memeluk ‘Ali Zainal ’Abidin dengan erat  sambil mengatakan, “Demi Allah, lehernya tidak akan terpenggal sebelum  kalian penggal leherku terlebih dulu.”
Ibnu Ziyad memandang Zainab dengan heran dan berkata, “Alangkah kuatnya rahim mempererat mereka.”
Inilah  Zainab, hasil didikan madrasah suci bernama Fathimatuz Zahra. Semenjak  kecil mereka dididik oleh ibu yang sangat kuat kasih sayangnya. Dari  Az-Zahra juga, mereka belajar pengorbanan.
Mereka  belajar banyak tentang pengorbanan dari ibu mereka, Fathimah Az-Zahra,  dan ayah mereka, ‘Ali karamallahu wajhahu. Ada kisah pengorbanan mereka  yang kemudian menjadi sebab turunnya surat Al-Insaan (76) ayat 8-9.
Dan  mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak  yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu  hanyalah untuk mendapat ridha Allah. Kami tidak mengharapkan balasan  dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insaan:8-9).
Ketika  itu Hasan dan Husain sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah ditemani  oleh beberapa sahabat, datang menjenguk mereka. Rasulullah menyarankan  kepada ‘Ali untuk mengucapkan janji (bernazar) kepada mereka itu. Semua  anggota keluarga, termasuk Fathimah, ‘Ali dan Fazzah, pembantu mereka,  mengucapkan janji kepada Allah untuk menjalankan puasa selama tiga hari  bila putra-putra ‘Ali sembuh dari sakit.
Ketika  mereka sembuh, puasa pun dimulai. Tetapi mereka tidak memiliki apa-apa  untuk berbuka puasa. ‘Ali kemudian meminjam tiga sha’ gandum dari  seorang Yahudi di Khaibar bernama Syam’un. Fathimah memegang lima keping  roti dengan sepertiga bagian gandum itu dan meletakkan di atas meja  makan saat berbuka puasa. Pada saat hendak berbuka puasa, seorang  pengemis mengetuk pintu dan meminta makanan sambil berkata, “Tolonglah  aku, semoga Allah memberimu makan dengan makanan surga.” Keluarga itu  pun memberikan makanan mereka dan berbuka hanya dengan air.
Hari  berikutnya mereka masih berpuasa. Sekali lagi lima keping roti  dipersiapkan. Kini, seorang anak yatim mengetuk pintu untuk meminta  makanan. Keluarga itu sekali lagi memberikan makanan mereka kepada anak  yatim itu. Pada hari ketiga datang tawanan menjelang saat berbuka.  Mereka melakukan hal yang sama.
Pada  hari ketiga, ‘Ali membawa anak-anaknya ke rumah Rasulullah. Melihat  keadaan cucu-cucunya, beliau menjadi sedih dan berkata, “betapa susah  bagiku melihat kalian dalam keadaan yang sulit ini.”
Lalu  beliau mengajak mereka kembali ke rumah Fathimah. Ketika tiba di sana,  Fathimah sedang berdo’a, sementara kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan  lemah dan matanya begitu sayu.
Melihat  ini, Rasulullah Saw. menjadi bertambah sedih. Pada waktu itu, malaikat  Jibril datang kepada beliau dan mengatakan, “Terimalah hadiah dari Allah  ini. Allah mengirimkan ucapan selamat bagimu karena memiliki keluarga  yang begitu mulia.”
Lalu  Jibril membacakan kepada Rasulullah surat Al-Insaan (Hal Ata). Inilah  Fathimah, ibu yang mendidik anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan  luar biasa itu. Ia menanamkan ke dada anak tauhid dan kesediaan untuk  berdarah-darah.
Fathimah,  kata Soraya Maknun, mendidik seorang anak perempuan seperti Zainab  seorang wanita yang terpelajar, bijaksana dan terhormat, yang  kata-katanya dapat menenangkan saudaranya yang tak berdosa pada  saat-saat kritis di senja bulan Asyura’ (Muharram). Inilah wanita yang  emosinya sangat matang.
Kisah  Fathimah Az-Zahra akan lebih panjang lagi kalau diteruskan. Dan makalah  ini tidak cukup untuk menuliskan. Oleh karena itu, kita sudahi dulu.  Sebagai penutup, saya sampaikan kisah singkat Hasan dan Husain, kata Abu  Hurairah, bergulat. Lalu Rasulullah Saw. berkata, “Ayo Hasan!”
Maka Fathimah mengatakan, “Wahai Rasulullah, engkau mengatakan ‘ayo Hasan’, padahal dia lebih besar.”
Maka Rasulullah menjawab, “Aku mengatakan ‘Ayo Hasan’ dan malaikat Jibril mengatakan ‘Ayo Husain.”
Sambil bermain-main dengan Hasan, Fathimah mengajarkan kepada anaknya dengan mengatakan:
Jadilah  seperti ayahmu, wahai Hasan Lepaskan tali kendali yang membelenggu  kebenaran Sembahlah Tuhan yang memiliki anugerah Janganlah kau bantu  orang yang memiliki dendam
Saya tidak tahu apakah kita bisa meneladani Fathimatuz Zahra, sedangkan tingkatan kita masih seperti ini. Jauh sekali.
Tetapi  saya berharap pembicaraan ini ada manfaatnya. Setidaknya mengajari kita  rasa malu, untuk tahu diri. Kalau kita sudah merasa berkorban dan  berjasa, sebandingkah dengan pengorbanan Az-Zahra dan keluarganya?
Satu  hal, tulisan ini adalah do’a. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada  kita keturunan yang penuh barakah dan Allah mengaruniakan kepada mereka  barakah, sampai yaumil-qiyamah. Semoga Allah mengaruniakan pada kita  keluarga yang penuh barakah dan Allah melimpahkan barakah kepada kita.
Mudah-mudahan kita yang hadir saat ini dikumpulkan bersama Rasulullah Muhammad Saw di Al-Haudh. Amiin Allahumma Amin.
Wallahu A’lam Bishshawab.
 
No comments:
Post a Comment