Thursday, September 22, 2011

Kaweruh Wong Jowo

Falsafah hidup dlm kaweruh Jawa yg tertuang dlm serat para pujangga-intelektuaL Jawa, yg mana bahkan wong Jawa sendiri seringkali mengernyitkan dahi (entah heran, entah tidak tahu, entah emang blo’on) ketika menjumpai (membaca) juduL-tulisan-istilah kaweruh Jawa, misaL: Sangkan Paraning Dumadi, Kalimosodo, Sastrojendro HayuningRat, Cokro ManggiLingan, Hamemayu Hayuning Bawono, Ngundhuh Wohing Panggawe, Manunggaling KawuLo Gusti, dsb. Memang demikian ini tidaklah mengherankan, spt yg kerap kali terdengar bhw “wong Jowo ilang jawane, wis ora njawani”. Dan mungkin jg krn metode penyampaian kaweruh Jawa dgn cara gethok tular (sambung lidah) dari para pinisepuh Jawa kpd generasi berikut nya dgn cara seleksi yg unik, maka makin minim pula jumlah pribadi yg mengerti-memahami kaweruh Jawa dgn benar-baik-lurus dan sedjati. Bahkan yg lebih menggelikan adalah mereka yg belum tahu (apalagi mengerti) kaweruh Jawa dgn serta merta menuding kejawen adalah aliran spirituaL-kebathinan yg mengada-ada, tahayul, sesat, murtad, syirik, kafir dan konotasi nyeleneh lainnya. Namun eloknya, dgn bijak para praktisi ngeLmu kejaweN tidak tergesa2 (dan memang tidak perlu) utk merespon balik dgn tudingan: “idihhh, kacian deh, ternyata lu bLo’on banget ya !”. NgeLmu kaweruh Jawa lain halnya dgn ilmu intelektuaL-sekuLer yg justru membuat muLurnya naLar yg bergerak pasif-defensive utk bertahan dlm ketakutan-kekuatiran akan kekurangan kebutuhan yg berevolusi menjadi keinginan: winasis (strata edukasi), kawiryan (jabatan/kedudukan/kekuasaan), arta-rojobrono (harta benda) yg identik berhampiran dgn harta-tahta-syahwat. KaweruH Jawa dipahami sbg perilaku NgeLmu dan Lelaku. Ngelmu yg dimaksud bukanlah “iLmu” yg dilandasi cita-cita (pencapaian) pemenuhan kehendak intelektuaL, tp yg dimaksud ngeLmu justru tindakan mengendapkan keinginan-kehendak dgn bersikap heneng-hening memantapkan jiwa memimpin raga berbudi luhur, dgn aras tujuan ‘kesadaran bathin’ yg bukan terkondisikan oleh tuntutan hukum wajib halal-haram, meraih pahala takut dosa, atau pun mengkultuskan sosok manusia (mesias/nabi) maupun doktrin kitab yg dianggap suci. Agama dlm ranah kaweruh Jawa dipahami sbg ageming-aji (ageman/baju jubah raga spy dihargai/diakui). Konflik kepentingan sosiaL – agama, tersirat dlm carakan (plesetan, tp gak sampai kepleset) HoNoCoRoKo. *Hanacaraka; ada dua kutub kekuatan (kutub relijius/agama & kutub sekuLer/rasionaL). *DatasawaLa; kedua kutub saling berebut kuasa kebenaran. *Padhajayanya; keduanya memiliki dasar alasan yg kuat. *Magabathanga; berkelanjutan konflik dgn perang-pertumpahan darah. Perseteruan kedua kutub kekuatan itu, yakni: kutub relijius (AsiaDaratan-MiddleEast) dan kutub sekuLer Barat (Eropa-AmriK) menyebar hingga di bumi Nusantara, adalah aneh ketika Amrik dan Arab Saudi terlihat berangkulan mesra, namun konflik msh tumbuh subur di bumi Nusantara tercinta. Penjajahan spirituaL thd pribumi Nusantara dimulai ketika para saudagar (India, Cina, Arab) dan bangsa Eropa bertamu dgn kedok misi perdagangan di bumi Nusantara yg pada akhirnya bangsa penjajah-imperialis Eropa dgn segala kekuatan nya mulai menyerang sisi spirituaL pribumi. Merekapun meluluhlantakkan locaL wisdom, dgn diawali menggolongkan status sosiaL dlm masyarakat: -bangsa Eropa dipanggil dgn ‘ndoro tuan’ (tuan besar). -bangsa Cina-Arab dipanggil ‘yuK’ dan ‘oyiK’ (tuan) -bangsa pribumi dipanggiL ‘cung’ (kacung), bahkan yg lebih parah lg bangsa pribumi dilekatkan dgn sebutan sebagai Tukang ‘nyadhong-nggamblong-nyolong-nggarong’ (pengemis-penjilat-maling-rampok), dan tak sedikit pula yg dicap sbg extremist- pemberontak (lha wong tuan rumah kok memberontak, edan tenan !). Terkait itu maka segala lelaku rituaL pribumi dianggap kelas rendahan, primitif, sesat, bersekutu dgn setan, dsb. Maka tak sedikit kaum pribumi yg memburu ‘ageming-aji’ utk sekedar lepas dr anggapan rendahan alias diakui lebih bermartabat. Namun kesadaran spirituaL lokal/pribumi tetap bergerak dgn terus membuat karya sastra spirituaL, yg meski telah tercampur dgn budaya asing dalam berbagai aliran, a.L: -pro Arab (memantapkan pengaruh agama bangsa Arab). -yg samar melawan dgn halus (sanepan) -sinergi pengaruh budaya India Cina Arab / Hindu Budha Islam. -radikaL menyerang doktrin agama tertentu. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan konflik secara frontaL, maka khususnya di tanah Jawa para raja menyiasati dgn conflict management’, yaitu kebijakan menyeleksi-menyimpan karya sastra para pujangga yg dianggap ekstrim utk tidak dikonsumsi oleh masyarakat umum. Celakanya, kitab2 yg dianggap rahasia tsb banyak yg dihadiahkan (kalau tidak mau disebut: dirampok) kepada bangsa penjajah yg kemudian dipelajari oleh para intelektuaL Barat dicari titik lemah nya, yg pd akhirnya dijadikan senjata ampuh dgn menyebarkan karya sastra itu ke masyarakat umum demi utk memuluskan politik ‘devide et impera’… akibatnya sementara kaum pribumi sibuk berperang saling bunuh memperebutkan wilayah kebenaran ideologi, tidak menyadari bhw kekayaan alam bumi Nusantara digarong habis2an oleh para penjajah. Bagaimanakah ngeLmu lelaku dlm pemahaman kaweruH Jawa ? para pelaku spirituaL-kebathinan seringkali salah kaprah dlm menyikapi lelaku olah bathin-tapabrata (tapa kungkum, sesirih, dsb) ataupun dgn mendatangi paranormaL yg diantaranya cenderung bermuatan motif pencapaian keduniawian (harta-tahta-syahwat), misaL: -rejeki melimpah, mudah mencari pekerjaan -terpilih dlm piLkada (caleg dprd, bupati) -pecandu KKN spy bebas dr jerat hukum -memburu harta karun di alam ghaib -kadigdayan/kesaktian bisa menggandakan uang, atau ingin cepat kaya mendadak. Kalopun ada yg berhasil dlm pencapaian perolehan harta benda, dlm kaweruh Jawa hal tsb bukanlah ngeLmu Urip yg sedjati, melainkan hal itu disebut ngeLmu Karang, yaitu mendapat kekuatan dr ber-karang (bersekutu) dgn bangsa ghaib (bahasa gaulnya: bersekutu dgn ibLis). Ngelmu Karang ibarat memakai bedak (riasan-polesan sementara) yg hanyalah tipuan/kepalsuan duniawi bagi mereka yg sepakat ingin berhasil dgn cara mudah dan instant, mengabaikan resiko/akibat dlm kehidupan selanjutnya (ngundhuh wohing panggawe). Adapula yg mengejar kadigdayan dgn memaksa/menyiksa raga dgn berbagai lelaku rituaL untuk mendapatkan kekuatan (kesaktian-siddhi), yg terjadi ketika raga kembali normal maka kehendak ragawi pun menjerumuskan kepada perilaku angkara murka (munculnya praktisi paranormal komersiaL, penipu hingga dukun cabuL). Istilah-istilah dlm kaweruh Jawa pun sering pula disalahartikan, bahkan dgn tuduhan sesat tanpa mengerti apa maksud-arti sebenarnya, misaL: kLenik (bisik-bisik), mistik (rahasia), dukun (tabib/dokter ahli kesehatan pengobatan), dll.

No comments:

Post a Comment