Tuesday, March 13, 2012

Sejarah Perjuangan ulama Kebumen

SEJARAH AOI (ANGKATAN OEMAT ISLAM) DI KEBUMEN
benarnya terjadi dengan gerakan Angkatan Oemat Islam (AOI) sejauh ini belum terekspos ke publik. Di bangku sekolah menengah, dalam IPS Sejarah maupun PSPB, kita ‘dicekoki’ AOI tak lebih dari sekedar pemberontakan, ‘cabang’ DI/TII untuk kawasan Jawa Tengah bagian selatan. Pemahaman sejenis juga bisa dilihat pada para peneliti yang pernah menggeluti persoalan AOI, misalnya alm. Kuntowijoyo (1970) ataupun tesis Danar Widayanta di UI (judulnya Angkatan Oemat Islam 1945 – 1950 : Studi Tentang Gerakan Sosial di Kebumen).
Pusat Penerangan TNI -sebagai lembaga resmi yang menghabisi AOI- bahkan memberikan simplifikasi menggelikan. Dalam Diorama Museum Waspada Purbawisesa disebutkan, AOI mulai melakukan rapat-rapat rahasia pada Mei 1950 sebagai persiapan perlawanan terhadap pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dianggap sudah dipengaruhi tokoh-tokoh komunis. Dari rapat itulah kemudian Batalyon Lemah Lanang, Batalyon 423 dan Batalyon 426 (ketiga batalyon ini awal mulanya berasal dari Laskar Hizbullah Sabilillah) mulai mengganggu keamanan di Kedu Selatan. Tentu saja ini rancu dan menggelikan, mengingat sebagian besar tokoh komunis sudah dihabisi pasca kudeta setengah hati di Madiun, September 1948. Dari cerita perjalanan hidup Letkol. Untung a.k.a Kusman (yang pernah saya paparkan di sini), ataupun kisah Dipa Nusantara Aidit, kita tahu tokoh2 komunis baru mulai bermunculan pasca 1950.
KH. Abdurahman Wahid menyebut pemberontakan AOI muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya Perang Kemerdekaan. Namun, peleburan itu disertai embel2, hanya orang2 yang mendapat pendidikan “Sekolah Umum Belanda” saja yang bisa menduduki jabatan komandan batalyon. Syekh Mahfudz Abdurrahman dikatakan berminat terhadap kedudukan komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. Namun Syekh Makhfudz terhadang oleh ketiadaan ijazah yang dipunyainya dan karena itu beliau memilih mengobarkan pemberontakan, terlebih ketika jabatan yang diincarnya jatuh ke anak muda ingusan bernama Ahmad Yani. Dalam uraian berikut, akan kita lihat bahwa alasan semacam ini juga simplistik.
Merujuk penuturan KH Afifuddin Chanif al-Hasani dan KH Musyaffa Ali -masing-masing cucu dan menantu Syekh Mahfudz- akar masalah AOI sejatinya terletak pada kebijakan Rera (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang dikumandangkan kabinet Hatta pada 1948 atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. Dalam program Rera ini, laskar-laskar perlawanan akan digabungkan menjadi satu ke dalam TNI dan diciutkan personalianya hingga tinggal setengah dari semula. Prioritas ditujukan pada mereka yang mendapatkan pendidikan militer zaman Hindia Belanda maupun Jepang. Sebagai pimpinan badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, dengan massa +/- 10.000 orang dan punya potensi massa tambahan 30.000 orang, Syekh Mahfudz risau dengan kebijakan diskriminatif ini mengingat mayoritas massa AOI memiliki tingkat pendidikan formal rendah dan berbasis pesantren sehingga berpotensi tereliminir karena tak punya ijazah. Meski sebagian besar massa AOI semula merupakan petani, tak pelak bahwa perjalanan Perang Kemerdekaan telah menarik sebagian diantaranya untuk bermobilitas vertikal menjalani karir militer. Keresahan bertambah mengingat pada 1948 itu Indonesia justru masih berhadapan dengan ancaman kekuatan NICA, yang bagi Syekh Mahfudz sangat nyata, mengingat sebagai ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan langsung di bawah Bupati Kebumen, beliau langsung berhadapan dengan pasukan NICA di garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong timur. Sehingga menurut beliau tidaklah bijak menggagas Rera justru ketika ancaman nyata menghadang di depan mata.
Di diagonal yang berseberangan, keresahan yang sama juga dihadapi faksi sosialis-komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin di Madiun. Namun FDR memilih menyelesaikannya dengan mengobarkan kudeta setengah hati Madiun Affair yang gagal pada September 1948, peristiwa yang menguras energi lasykar-lasykar rakyat dan TNI terlalu banyak untuk menumpasnya. Penumpasan FDR ini membuat Syekh Makhfudz dan PPRK semakin yakin NICA tinggal menunggu waktu saja untuk menjebol garis demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu jauh ke Yogyakarta sebagai ibukota RI.
Keresahan Syekh Mahfudz terbukti ketika NICA menggelar kampanye militer Doorstot naar Djokdja pada 18 Desember 1948, yang berhasil menawan Soekarno-Hatta, menghancurkan kabinet Hatta dan membuat TNI serta lasykar-lasykar tercerai berai. Ini menginisiasi masa Perang Kemerdekaan II yang sekaligus membenamkan ide Rera ala Nasution. Dalam periode inilah peranan AOI kian menanjak dalam percaturan politik dan militer di Jawa Tengah.
Perang usai seiring penandatanganan pengakuan kedaulatan di Istana Rijswik, 27 Desember 1949, sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar. Ini sekaligus menandai berdirinya RIS dengan APRIS sebagai tentara nasionalnya. Pembentukan APRIS membawa konsekuensi tersendiri bagi AOI seiring kembali mencuatnya isu Rera. Dalam pandangan Danang Widayanta, tawaran APRIS agar AOI bergabung kedalamnya melalui Rera yang diskriminatif berpotensi menghasilkan sedikitnya empat ancaman : ancaman eksistensi organisasi, ancaman kehilangan posisi sosial ekonomis, ancaman kehilangan posisi politis dan ancaman kehilangan posisi budaya. Ini menghasilkan kondisi AOI tidak lagi otonom, tidak lagi merasa aman dalam posisinya dan frustrasi dengan masa depannya. Ini yang membuat Syekh Mahfudz menolak bergabung.
Namun dari penuturan KH Afifuddin dan KH Musyaffa, atas bujukan KH Nursodik dan KH Sururudin (keduanya pimpinan AOI) sebenarnya Syekh Mahfudz telah bersedia berunding dengan APRIS untuk membicarakan kemana AOI hendak diarahkan, mengingat jasanya yang demikian besar. Perundingan mengerucut pada kompromi dengan pembentukan Batalyon Lemah Lanang, yang khusus menampung massa AOI yang diseleksi sendiri oleh Syekh Mahfudz. Syekh Mahfudz sendiri, dengan usianya yang telah mencapai 49 tahun, tidak berminat mengejar posisi komandan batalyon, mengingat dengan kedudukannya sebagai “Rama Pusat”, dengan massa AOI dan thariqah Syadzaliyah yang diampunya, beliau sudah menempati posisi natural leader yang kharismanya melampaui batas-batas kabupaten, mengingat pesona AOI juga terasakan hingga Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purworejo, melebihi formal leader Bupati Kebumen yang waktu itu dijabat R.M. Istikno Sosrobusono. Meski demikian, Kuntowijoyo menyebut Syekh Mahfudz memiliki pandangan apolitis, karena itu tak heran beliau membenci partai politik, termasuk Masyumi.
Tapi persoalan tak usai meski Batalyon Lemah Lanang sudah dibentuk. Sebagai batalyon yang beranggotakan para santri, yang dalam perang kemerdekaan mengumandangkan perang suci (jihad) kepada NICA yang dilabeli kafir, Batalyon Lemah Lanang mengalami gegar budaya ketika harus berbaur dengan unit2 lain dalam APRIS yang notabene sebagian besar berisi perwira hasil didikan Militaire Academie Hindia Belanda. Lebih lagi perwira2 itu umumnya berasal dari kelas bangsawan Jawa, yang sejak kecil dijejali pandangan “Islam adalah problem” warisan Sultan2 dan Sunan2 Mataram. Batalyon Lemah Lanang dianggap kaku dalam berprinsip, radikal dan memiliki sudut pandang selalu hitam putih, sementara Batalyon Lemah Lanang sendiri menganggap unit2 di tubuh APRIS banyak mengadopsi kebiasaan kaum kafir Belanda dan banyak faksi didalamnya yang atheis. Beberapa unit yang dianggap atheis adalah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani di Purworejo, disamping Brigade X / Garuda Mataram yang dipimpin Soeharto di Yogyakarta.
Gegar budaya ini makin melebar dan meluas hingga keluar dari skup Batalyon Lemah Lanang. Sampai akhirnya terjadi ejek2an berujung tawuran antara pemuda2 AOI dengan anggota Batalyon Sudarsono, yang menyebabkan 1 pemuda AOI terbunuh. Akibatnya AOI bereaksi dan inilah yang ditanggapi Kol. M. Sarbini di Magelang sebagai indikasi AOI hendak memberontak, sehingga diperintahkanlah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani menggempur Somalangu.
Tidak tepat jika AOI disebut memberontak. Dalam penuturan KH Afifuddin, KH Musyaffa dan Ibu Zubaidah (keponakan Syekh Mahfudz, kini sudah sangat sepuh), hingga menjelang 1 Agustus 1950 tersebut Syekh Mahfudz sama sekali tidak menyiapkan konsep2 untuk mendirikan negara tersendiri sebagaimana dilakukan SM Kartosuwiryo di Jawa Barat. Meski pernah membicarakan wacana wilayah “Kapoetihan” -semacam Kauman yang diperluas, tempat kediaman orang-orang saleh yang digambarkan menempati daratan sebelah timur Sungai Lukulo hingga perbatasan Purworejo- namun tak ada pembicaraan lebih lanjut, apalagi yang bersifat operasional semacam menyiapkan proklamasi, konstitusi dan angkatan perang tersendiri. Syekh Mahfudz sendiri juga tidak menyiapkan suatu perangkat kaderisasi ataupun suatu exile government andaikata Somalangu sewaktu-waktu diserbu. Beberapa pertemuan memang berlangsung dengan pimpinan Batalyon 423 dan 426 (keduanya sama-sama berasal dari lasykar Hizbullah Sabilillah), namun itu lebih ditujukan pada bagaimana mengantisipasi persoalan di antara sesama lasykar Hizbullah Sabilillah akibat kebijakan Rera yang diskriminatif. Tidak ada pertemuan dengan utusan DI/TII, baik dari Kartosuwiryo sendiri maupun dari wakilnya di Jawa Tengah : Abdul Fattah.
Maka bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Syekh Mahfudz ketika Somalangu dikepung rapat pada pagi hari 1 Agustus 1950 dan tanpa ba-bi-bu langsung digempur ala manuver blitzkrieg, tanpa sempat menyiapkan diri. Akibatnya tak ada lagi bangunan di Somalangu, Candiwulan, Candimulyo dan sekitarnya yang masih tegak berdiri. Bahkan masjid kuno berusia 400-an tahun peninggalan Syekh Abdul Kahfi Awwal pun ikut runtuh. Tak ada tempat yang tak terbakar, hingga segala macam jejak tertulis mulai dari arsip2 AOI hingga kitab2 dan kitab suci al-Qur’an pun hangus. Mayat berserakan dimana-mana, mulai dari orang tua, pemuda, ibu-ibu, anak-anak dan bahkan bayi. 1.000-an orang tewas hanya pada hari itu.Tak ada kata yang cocok untuk mendeskipsikan keadaan demikian selain pembantaian teramat keji, yang bisa disetarakan dengan Pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia-Herzegovina.
Meski diserang mendadak, namun Bharatayudha berkobar hingga 3 bulan lamanya. Jika kemudian sisa-sisa Batalyon Lemah Lanang memilih untuk bergabung dengan sisa-sisa DI/TII Abdul Fattah, sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merapi Merbabu Complex) di kaki Gunung Slamet, pilihan ini diambil pasca tertembak dan wafatnya Syekh Mahfudz di Gunung Selok, Cilacap. Dengan kondisi organisasi AOI berantakan, pemimpin tertingginya wafat dan tak ada yang kader bisa menggantikan kharismanya, dengan Somalangu dan Kebumen timur sudah diobrak-abrik amunisi APRIS, tanpa ada tawaran rekonsiliasi dan amnesti agar bisa kembali ke masyarakat sebagai orang baik-baik, serta jikalau menyerah pun akan masuk Nusakambangan tanpa diadili (seperti dialami ratusan massa AOI yang memilih menyerah), maka dalam pandangan saya tak ada pilihan lain yang logis rasional kecuali menyelamatkan diri, bergabung dengan saudara senasib sepenanggungan dan terus bertempur, meski tak jelas lagi bertempur untuk apa.
Pembantaian Somalangu menandai satu babak baru di kalangan pemerintah RIS / NKRI tentang bagaimana menyikapi dan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara hantam kromo (main pukul rata). Pasca AOI, di Jawa Tengah, giliran MMC digempur. Di Jawa Timur, satu Batalyon pimpinan KH Yusuf Hasyim (saat itu berpangkat Lettu) pun turut diberangus dengan tuduhan DI/TII dan komandannya ditahan berbulan-bulan tanpa diajukan ke pengadilan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar dengan KRJT-nya (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas) dilucuti dan dituduh DI/TII pula, sementara di Sulawesi Selatan, usulan Abdul Qahhar Muzakar agar lasykar-lasykar asal Sulawesi Selatan yang telah dihimpun menjadi satu dalam KGSS (Keluarga Gerilja Soelawesi Selatan) direkrut ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin ditolak dan digempur seperti AOI. Ini menyisakan trauma dan dendam berkepanjangan. Maka tidak heran jika Dr. Tgk Muhammad Hasan di Tiro, ketika mendirikan Gerakan Atjeh Merdeka pada 1976, merujuk terjadinya “pembantaian oleh bangsa sendiri” sebagai latar belakang.
Yang jelas, pasca AOI, aparat administrasi Kebumen maupun Jawa Tengah tidak belajar lebih jauh dari peristiwa AOI dan lebih memilih melakukan isolasi sosiologis-politis dengan labelisasi “ekstrim kanan” dan “bagian DI/TII” kepada sisa-sisa AOI, garis keturunan Syekh Mahfudz, maupun penduduk Somalangu dan sekitarnya, tanpa tawaran rekonsiliasi. Dengan bupati2 yang mayoritas militer aktif, berasal dari luar Kebumen, tidak belajar lebih lanjut tentang sosiologi masyarakat setempat, terkooptasi dengan Golkar, berpandangan kaku dan main hantam kromo, ini berpuncak pada munculnya peristiwa kelam selanjutnya : Kerusuhan 7 September 1998. Sisa-sisa AOI memang tidak terlibat dalam peristiwa ini, bahkan barisan ulama yang dulu berafiliasi ke AOI justru menjadi penengah yang berhasil meminimalisir jumlah korban.

No comments:

Post a Comment