Wednesday, October 26, 2011

Kisah perjalanan Nabi Musa dan nabi Hidir

Tafsir Kisah Musa dan Khidir

“ Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yang terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yang disaksikan sebagai tanah menjorok dengan lautan disebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yang berada diluar diri manusia. Tanah itulah yang disebut perbatasan (barzakh), dua lautan itu yang disebut lautan makna (bahr al ma’na ) perlambang alam tidak kasat mata ( alam ghaib ), dan lautan jisim ( bahr al ajsam ) perlambang alam kasat mata ( alam asy-syahadat ). “ Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para penempuh jalan rohani (salik ) yang betujuan mencari kebenaran, dan kawanan udang yang berenang sebelah kiri diantara batu-batu merupakan perlambang para salik yang diliputi hasrat-hasrat dan pamrih duniawi “. Ini semua bukan perjalanan manusia biasa tetapi perjalanan rohani yang berlangsung dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Jika Nabi Musa As waktu itu melihat ikan dan yang melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri yaitu di wilayah perbatasan dua lautan, maka ikan itu berenang dalam alamnya yaitu lautan, dan sang ikan dapat melihat segala sesuatu didalam lautan, kecuali air, maknanya adalah ikan hidup dalam air, sekaligus dalam tubuhnya ada air, tapi ia tidak bisa melihat air, dan tidak sadar jika dirinya hidup dalam air. Itulah sebabnya ikan tidak bisa hidup tanpa air yang meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya, dimanapun ikan berada ia selalu diliputi air yang tak bisa dilihatnya. Sedang apabila ikan melihat Nabi musa maka ikan itu melihat bahwa Nabi Musa didalam dunia yang diliputi udara kosong dan Nabi Musa AS akan merasa sama seperti ikan tersebut. Sesungguhnya tempat dimana Nabi Musa AS berdiri dihadapan Khidir AS adalah wilayah perbatasan antara alam kasat mata dan alam tidak kasat mata dan sesungguhnya kawanan udang alah perlambang dari salik yang sudah berada di perbatasan, jika itu terjadi sesungguhnya ia telah memasuki perbatasan alam ghaib, dan sesungguhnya pemuda (al-fata) yang mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasat mata dan sesungguhnya dibalik keberadaan pemuda itu tersembunyi hakikat sang Pembuka ( al-Fattah ). Sebab hijab ghaib yang menyelubungi manusia dari Kebenaran Sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, itu sebabnya saat Nabi Musa AS bertemu dengan Khidir AS, pemuda itu tidak disebut-sebut lagi karena sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”


Adapun bekal makanan berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik, yang hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun bagi pencari Kebenaran Sejati pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain), itu kenapa sebabnya sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan. Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yang telah masuk kelaut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk lautan jisim kembali dan setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS. Justru Nabi Musa berkata pada saat ikan melompat ke laut bahwa itulah yang dicarinya sehingga tersingkapnya gumpalan kabut dari kesadaran Nabi Musa AS saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan dapat melihat Khidir AS, hamba yang dilimpahi rahmat dan kasih sayangyang memancar dari citra ar-rahman dan ar-rahim dan ilmu Ilahi (laduni) yang memancar dari Sang Pengetahuan ( al-alim ).
Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hambaNya yang telah mereguk Air Kehidupan (ma’alhayat) yang memancar dari Sang Hidup (al Hayy). Itu sebabnya barang siapa yang bertemu Khidir AS maka ditengah wilayah perbatasan dua lautan maka ia telah melihat pengejawantahan Sang Hidup, Sang Pengetahuan, Sang Pengasih, Sang Penyayang, dan Sebenarnya Nabi Khidir adalah tidak lain dan tidak bukan Ar-Roh al idlafi, cahaya hijau terang yang tersembunyi di dalam diri manusia , “ sang penuntun “ anak keturunan Adam AS kejalan kebenaran sejati ( al Haqq) Dia sang mursyid Yang Maha Menunjuki. Sesungguhnya perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yang hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang, dan setiap manusia akan mengalami pengalaman yang berbeda sesuai dengan pemahamannyadalam menangkap kebenaran demi kebenaran.
“ Setelah berada diwilayah perbatasan , Khidir AS dan Musa AS melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, mereka kemudian digambarkan menumpang perahu dan merupakan perlambang dari wahana syari’ah yang lazimnya digunakan oleh orang awam untuk mencari ikan perlambang perbuatan baik ( amal sholeh), padahal perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah Perjalanan yang sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itu kenapa perahu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk kedalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yang mengalir dari lubang tersebut sehingga akan timbul kesadaran bahwa lewat lubang inilah sesungguhnya akan dapat masuk dalam Lautan makna yang merupakan permukaan Lautan Wujud dan bila perahu tidak dilubangi maka akan terus berlayar dan tertangkap oleh Sang Maharaja (malik al mulky) dan akan mengalami nasib yang sama dengan penumpang lain yakni dijadikan hamba sahaya , dan bila Sang Maharaja menyukai hambanya itu maka akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yang merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al-jamal). Kenapa wahana Syariah harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib menuju Dia? Adalah syariah adalah kendaraan bagi manusia yang hidup dialam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi, sedang alam tidak kasatmata adalah alam yang tidak jelas batas-batasnya karena kekuatan akal manusia yang mengikat tidak dapat berijtihad untuk menetapkan hukum yang berlaku dialam ghaib. Itu sebabnya Khidir AS melarang nabi Musa AS bertanya sesuatu dengan akalnya dalam perjalanan tersebut, dan apa yang dilakukan nabi Khidir benar-benar bertentangan dengan ukum suci (syariat) dan akal sehat yang berlaku di dunia yakni melubangi perahu, membunuh anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah”. Jika wahana syariah tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dengan akal melainkan dzauq yaitu Cita Rasa Rohani, inilah yang disebut Thariqah, disinil sang salik harus berjuang keras dan pasrah kepada kehendakNya, maksudnya bila Tuhan tidak berkehendak kita mengenalNya maka kitapun tidak akan bisa mengenalNya.
Tentang dibalik kisah Khidir AS membunuh anak kecil ( ghulam) adalah perlambang keakuan kerdil yang kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seseorang yang teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil tersebut. Sesungguhnya dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan keakuan kerdil dari sang salik cenderung mengingkari kehambaan dirinya terhadap Cahaya yang Terpuji ( Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana kedalam Sang Rasul. Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaannya kepada Sang Rasul, dengan membunuhnya maka akan lahir ghulam yang lain yang lebih baik dan lebih berbakti yang melihat dengan mata batin (bashirah) bahwa dia sebenarnya adalah ‘hamba’ dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji ( Nur Muhammad ). Karena sesungguhnya keakuan yang kerdil adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yang cenderung ingkar dan durhaka terhadap “ Sumbernya “. Sedang ghulam yang baik perlambang dari keberadaan roh manusia yang cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan kejadian ini sama dengan pada saat nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yang beriman ( mu’min )
Adapun dinding yang ditinggikan Khidir AS alah perlambang Sekat Tertinggi ( al barzakh al ‘a’la) yang disebut juga Hijab Yang Maha Pemurah dan merupakan pengejawantahan Yang Maha Luhur ( al jalil ), lantaran itu dinding tersebut disebut Dinding Al jalal yang dibawahnya tersimpan Khasanah Perbendaharaan ( Tahta al-Kanz) yang ingin di ketahui. Sedangkan 2 anak yatim pewaris dinding itu perlambang jati diri nabi Musa AS yang keberadaannya terbentuk atas jasad ragawi dan roh ( rohani ), kegandaan diri manusia ini baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa, terkucil sendiri, dalam keadaan waktu tak berwaktu, 2 anak kecil perlambang Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan ( al mir’ah al haya’i). Adapun gambaran tentang ‘ ayah yang salih ‘ dari kedua anak yatim yakni ayah mewariskan khasanah perbendaharaan adalah perlambang dari Abu Salih Sang Pembuka Hikmah yakni pengejawantahan Sang Pembuka, inilah perjalanan Nabi Musa dalam diriny sendiri yang penuh dengan perlambang( isyarat ).
Keberadaan jati diri sesungguhnya adalah 2 yaitu pertama; keberadaan sebagai ( al basyar ) anak Adam AS berasal dari anasir tanah yang dicipta, dan keberadaannya sebagai roh anak Cahaya Yang Terpuji yang berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya diatas Cahaya ( Nurun ‘ala Nurin ). Maksudnya sebagai al basyar keberadaan jasad ragawi Nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta ( al khaliq ). Sehingga tidak akan terjadi perseteruan dalam mempererbutkan Khasanan Perbendaharaan warisan ayahnya yang Shalih. Sebab pada saat keduanya berdiri berhadap-hadapan didepan dinding jalal dan mendapati dinding runtuh maka saat itu yang ada hanya satu anak yatim. Maksudnya saat itu keberadaan al basyar anak Adam AS akan terserap ke dalam roh anak Muhammad, Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di atas Cahaya yang merupakan pancaran Khasanah Perbendaharaan. Dan ini tidak dapat diuraikan dalam kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan, jadi harus dijalani dan dialami sendiri sebagai pengalaman pribadi.

Penjelasan tentang Konsep Shiratal Mustaqim
“ Ini hanya akan memberi petunjuk yang bisa digunakan untuk meniti jembatan ( shirat) ajaib ke arahNya, kenapa ajaib karena jembatan ini bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan jarak mereka yang meniti dengan tujuan yang hendak dicapai “.
Kisah Musa AS mencari Khidir AS , jembatan ini memiliki empat bagian matra yang masing-masing memiliki pintu. Pertama matra istighfar yang berisi perlambang Nabi Musa AS bersama pemuda ( al-fatta) menjumpai Khidir AS diperbatasan dua lautan. Kedua matra shalawat yang berisi perlambang Khidir AS melubangi perahu. Ketiga matra dalil yang berisi perlambang Khidir AS membunuh anak. Keempat matra nafs al-haqq yang berisi perlambang Khidir AS menegakkan dinding yang di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.
Pada kaum awam istighfar lazimnya dipahami sebagai upaya memohon ampunan, tetapi bagi para salik istigfar adalah upaya memohon pembebasan dari ‘belenggu’ keakuan kepada al ghaffar sehingga beroleh maghrifah yang dibawahnya menyingkap tabir ghain yang menyelubungi manusia, Sesungguhnya dalam al-ghaffar terdapat makna Maha Pengampun dan juga Maha Menutupi, Menyembunyikan dan Menyelubungi. Karena kadang manusia terperangkap dalam keinginan memperoleh karuniaNya semata ( karomah kewalian) maka ia hanya berputar-putar di matra istighfar yang penuh diliputi gambar-gambaran indah karuniaNya.
Air kehidupan yang memancar dari lubang perahu itulah sesungguhnya sama dengan Air Kehidupan yang tergelar dihamparan Lautan Wujud, dan bila sang salik tidak melalui air kehidupan yang mengalir maka tidak akan mencapai air kehidupan yang di lautan wujud.
“ Matra Tahlil adalah matra Ke-Esaan, Matra Tauhid. Inilah Matra Ke-Esaan Wujud, Lautan Wujud sama saja dengan Air kehidupan. Iabarat ungkapan kesaksian tidak ada Ilah selain Allah, demikianlah disini diungkapkan bahwa tidak ada air lain yang tergelar dihamparan Lautan Wujud kecuali Air

Kehidupan yang mengalir dari Sang Hidup, inilah matra yang ditegakkan oleh Khidir AS yang dibawahnya tersembunyi Perbendaharaan.
Ini merupakan Matra Rahasia yang tidak bisa diuraikan, karena menyangkut Perbendaharaan Tersembunyi yang terdapat dibawah dinding, tak satupun diantara makhluk yang mengetahui keberadaanNya, kecuali memang dikehendakiNya. Jika Alqur’an saja tidak memberikan penjelasan tentang apa sesungguhnya Perbendaharaan, tentunya manusia tidak boleh mengkhayal-khayal tentang hal itu. Gambaran Nabi Musa AS yang berpisah dengan Khidir AS di matra itu adalah kearifan dari sang pencerita untukm tidak mengungkapkan apa yang tidak dapat dipahami pendengarNYa

No comments:

Post a Comment