Tuesday, February 28, 2012

Sejarah Kyai Chudlori ,Pondok pesantren TegalRejo

Sebagaimana ditunjukkan Dhofier3, hampir semua pesantren besar di Jawa didirikan oleh keturuna kiai. Dhofier menunjukkan bagaimana tiga puluh kiai terkenal hampir semuanya pendiri atau pemimpin pesantren besar di Jawa – mempunyai keturunan dari moyang yang sama, yaitu Kyai Shihah, pendiri pesantren Tambak Beras, Jawa Timur, tahun 18314. Hiroko ketika melakukan penelitian di Cipari Jawa Barat5 juga menemukan bahwa kiai dari beberapa pesantren di daerah ini adalah keturunan Zaenal Abidin, seorang ulama dan cikal bakal desa. Seorang Antropolog lain, Baeley mencatat pola yang sama dari Nangoh, Jawa timur. Enam pesantren ini dibangun oleh kyai-kyai keturunan Kyai Haji Munasan, pendiri pesantren pertama.6
Pesantren Tegalrejo yang didirikan oleh Kyai Chudlori pada tahun 1944, merupakan pengecualian, karena pendirinya bukan berasal dari keluarga kyai, tapi dari priyayi. Ayah Kyai Chudlori, Ihsan seorang penghulu di Tegalrejo dibawah pemerintahan Belanda. Kakeknya, Abdul Halim, juga seorang penghulu yang menangani administrasi urusan agama di daerah pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi kecamatan Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid dan Tegalrejo. Pada zaman Belanda, seorang penghulu dan keluarganya dihormati sebagai priyayi7.
Chudlori dilahirkan di Tegalrejo, anak kedua dari sepuluh bersaudara. Ibunya,Mujirah adalah putri Karto Diwiryo yang menjadi Lurah di Kali Tengah, dekat kota kecamatan Muntilan. Meskipun seorang priyayi, ayah Chudlori menginginkan paling tidak satu dai anak-anaknya menjadi kyai. Kenyataannya bahwa Tegalrejo bukan kota religius, semakin menyakinkan dirinya untuk berbuat sesuatu bagi para warganya. Abdullah (84), orang tua yang tinggal dekat pesantren, menceritakan kepada saya bahwa desa – desa sebelah timir Tegalrejo seperti Soroyudan, Tepus, mBalak, pernah menjadi sarang bandit-bandit yang terkenal jahat. Perampokan, pencurian, perjudian, dan sabung ayam tersebar luas.

Pada tahun 1923, setelah menyelesaikan studinya di HIS (Hollandsch Inlandcsh School) Chudlori dikirim ayahnya belajar di Pesantren Payaman, sebuah pesantren terkenal di kabupaten Magelang yang diasuh oleh Kyai Siroj. Disini, Chudlori menghabiskan waktu dua tahun dan menjadi apa yang digambarkan oleh Dhofier8 – santri kelana yang pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, sesuatu yang lazim dalam tradisi pesantren. Ia berusaha menguasai berbagai cabang ilmu keislaman dimanapun ilmu itu diajarkan. Pengembaraan seperti ini penting sekali, karena seperti ditulis Bailey9 “beberapa pesantren mengkhususkan diri dalam ilmu ini dan beberapa pesantren lainnya mengkhususkan diri dalam ilmu itu.”
Pesantren Koripan diasuh oleh Kyai Abdan ketika Chudlori belajar disana. Kemudian Chudlori pindah mengaji di Pesantren Kyai Rohmat di Gragab hingga tahun 1928. Setelah menguasai beberapa kitab, khususnya kitab Fatchul Qorrib, dia semakin bersemangat dan antusias sehingga pindah ke pesantren Tebu Ireng Jawa Timur (Pesantren yang paling terkenal saat itu), yang dipimpin oleh Hadrotusy Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Di Tebu Ireng , Chudlori menemukan tanah air spiritualnya. Walaupun selama empat tahun (Mutharom, Biografi K.H Chudlori,1984: 9-11), Chudlori mempelajari tata bahasa dan sastra Arab seperti al-jumuriyah, al-Umrithi, ‘Izzi, Maqshud, Qowaidi I’rab dan al-Fiyah, tapi masih ingin memperluas pengetahuan agamanya. Pada tahun 1933 pindah ke pesantren Bendo, Pare, Jawa Timur untuk menjadi santri Kyai Chozin Muhajir. Disini dia mendalami fiqh dan mencurahkan tenaganya pada tasawuf, dengan menguasai kitab tasawuf terkenal dengan Ihya’ Ulum ad-Din karya Imam Ghazali.
Setelah empat tahun, Chudlori pindah ke Pesantren Sedayu Jawa Timur untuk mempelajari Qiratul Qur’an, selama tujuh bulan. Tahun 1937 pindah ke pesantren terakhir, Pesantren Lasem. Pesantren yang berada di timur laut Jawa Tengah ini diasuh oleh dua orang kiai terkenal Kiai Haji Ma’shum dan Kiai Haji Baidlowi. Ketika sudah menguasai semua kitab yang diajarkan, Chudlori sering diminta oleh Kiai Baidlowi untuk mengajar para santri lainnya. Di pesantren inilah Chudlori menggali bakatnya sebagai seorang kiai. Meskipun tetap tinggal di sana, Chudlori tidak begitu banyak balajar, karena harus mengabdi pada kiai agar memperoleh karomah untuk memastikan bahwa dimasa yang akan datang itu yang diperoleh dari para kiai itu akan tetap memiliki potensi spiritual dan berkualitas.
Catatan sejarah kehidupan Chudlori selama belajar di berbagai pesantren (nyantri) penuh dengan cerita-cerita perjuangannya yang keras, keteguhan, kesalehan dan kezuhudannya. Misalnya, ketika sedang belajar di pesantren Payaman, 12 km sebelah barat laut Tegalrejo, sebulan sekali pulang mengambil perbekalan yang dibawa dengan cara dipanggul. Anak muda yang baru memasuki umur belasan, harus memanggul satu karung beras dan perbekalan lain di pundaknya, merupakan pekerjaan yang tidak pantas dan sesuatu yang luar biasa bila dilakukan oleh seorang priyayi.
Rasdan (73), yang mengenal keluarga Chudlori, menceritakan kepada saya bahwa ketika Chudlori belajar di Tebu Ireng, ayahnya mengirim uang sebanyak Rp. 750,- perbulan, tetapi Chudlori hanya menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan sisanya. Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut. Dia melakukan ini dalam rangka riyadlah, amalan yang biasa dilakukan para santri.
Kiai Idris, teman Chudlori ketika belajar di Tebu Ireng, menuturkan cerita menarik lainnya. Di kamarnya di Tebu Ireng, Chudlori membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut diantara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya, Chudlori naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi dengan baik. Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk duduk. Dus, dengan kedisiplinan dia dapat belajar setiap hari hingga tengah malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, dia menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur (Mutharom, Biografi K.H Chudlori,1984: 9).
Setelah membaca kitab Imam Al-Ghazali, dia berusaha dengan sungguh-sungguh mempraktekkan ajaran tasawuf. Kehidupan sehari-harinya penuh amalan tasawuf, termasuk berbagai macam bentuk puasa, salat tengah malam, membaca Al-Qur’an dan dzikir. Ketika Chudlori masih belajar di Pesantren Bendo, seorang kiai yang sangat terkemuka di daerah Magelang, yakni Kiai Dalhar, pimpinan pesantren Watu Congol menawari Chudlori untuk menikahi putrinya. Namun pada tahun 1937 baru saja pindah dari Pesantren Bendo ke Pesantren Lasem, ayahnya, Ihsan meninggal dunia sehingga pernikahannya ditunda. Dua tahun kemudian, ketika keluarganya diminta Kiai Dalhar untuk melaksanakan akad nikah, Chudlori pergi dari Lasem tanpa sepengetahuan keluarganya. Seorang kerabat yang tinggal di Surabaya menemukan Chudlori sedang menjalani uzlah di makam ‘keramat’ Batu Ampar, di Pulau Madura. Dia menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk menjalankan praktek mistik di kuburan keramat ini. Di sana dia dijemput oleh keluarganya dan tahun 1940 akhirnya Chudlori mengakhiri status lajangnya dengan menikahi putri Kiai Dalhar.
Pesantren Tegalrejo dan Perkembangannya
Setelah pernikahannya, Chudlori diminta mertuanya tinggal dan mengajar di pesantren Watu Congol, Muntilan, 22 km barat daya Tegalrejo. Sebagai menantu seorang kiai terkenal dan seorang kiai muda di pesantren terkenal, Chudlori mulai menempati posisi yang relatif tinggi, khususnya dalam konteks dunia pesantren sendiri di desa kelahirannya, Tegalrejo.
Keinginan ini bukan hanya didasarkan pada pertimbangan rasional semata. Sebelum membuat keputusan yang terakhir, ia melakukan mujahadah setiap malam Jum’at di makan keramat Raden Santri, yang terletak di puncak bukit Gunung Pring, 2 km sebelah selatan Watu Congol agar memperoleh petunjuk spiritual dan restu Allah. Setelah melakukan mujahadah setiap minggu selama setahun, pada hari Jum’at dini hari, sekitar pukul 03.00 tahun 1943, ia merasa menerima petunjuk yang jelas bahwa keinginannya direstui Allah. Malam itu, ketika peziarah yang mengunjungi makam ‘keramat’ itu sudah pulang, dan Hasyim, santri yang menemani Chudlori sudah tertidur, suara menggelegar yang tidak disangka-sangka muncul dari dalam makam. Badan Chudlori gemetar dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Tapi hatinya tetap tenang. Chudlori menafsirkan kejadian ini sebagai petunjuk Tuhan bahwa niatnya untuk mendirikan pesantren baru Tegalrejo direstui.
Chudlori membangunkan Hasyim untuk diajak pulang. Di tengah perjalanan dia menceritakan kepada Hasyim apa yang baru saja dialaminya dan meminta Hasyim untuk menyampaikan maksunya melaksanakan iqamah (keinginan mulai mengelola pesantrennya sendiri) pada mertuanya. Kiai Dalhar merestui rencana tersebut. Pada tanggal 15 September 1944 Chudlori kembali ke desanya, Tegalrejo dan pada hari itu juga pesantren Tegalrejo secara formal didirikan.
Beberapa keluarga Muslim di desa sekitarnya mendengar kembalinya Chudlori dan mengirimkan anak laki-laki mereka untuk menjadi santrinya. Pada awalnya ada 8 santri di Pesantren Tegalrejo yaitu Hasyim, Muhasyim, Idris Tarui, Muhiyat, Abdullah, Fachrurozi, Muhammad Barin dan Syiraj. Semuanya berasal dari desa-desa terdekat. Kini Chudlori terkenal dengan kiai baru. Pesantren tersebut juga menarik dukungan dari orang-orang Islam yang kaya. Diantara mereka adalah Haji Dahlan dari Magelang yang membangun bangunan pesantren ini.
Pada tahun 1947, Belanda melancarkan agresi militer pertama yang kemudian diikuti dengan agresi militer kedua tahun 1948 (M.Cricklefe, 1987:213-218). Tegalrejo sebagaimana daerah lainnya, menjadi benteng pejuang gerilyawan Indonesia. Kiai Chudlori memberikan izin terhadap sebagian dari santrinya untuk terlibat dalam perang gerilya. Aktivitas-aktivitas rutin pesantren terhenti, dan bangunan pesantren dibongkar oleh Belanda untuk dijadikan barak di Pakis, 4 km sebelah timur Tegalrejo. Rumah kiai dirampas untuk markas militer Belanda di daerah ini. Kiai Chudlori dan keluarganya harus melarikan diri, pindah dari satu desa ke desa lainnya di pedalaman.
Saat kepergian Kiai Chudlori dari Tegalrejo ini disebut masa fatroh (vakum). Para sesepuh desa Soroyudan, seperti Karto Peni dan Sastromiharjo masih ingat bahwa pada masa ini Kiai Chudlori sering berziarah ke makam Kiai Abu Yamin di Tejo, dan makam Kiai Abdul Mu’in di desa Sekembeng. Kiai Chudlori juga meluangkan waktunya untuk mendakwahi para pemimpin penjahat. Parto Tepus dari Desa Surodadi, seorang bandit yang paling terkenal jahatnya waktu itu diajak masuk Islam oleh Kiai Chudlori dan akhirnya menjadi salah seorang pengikutnya yang paling setia. Dengan penuh rasa penyesalan, Parto Tepus yang kini sudah berusia delapan puluhan tahun bercerita pada saya:
Hingga tahun 1949, saya adalah pemimpin bandit yang sangat terkenal jahatnya. Saya melakukan semua bentuk kejahatan dan kriminalitas seperti perjudian, perampokan, pemerasan dan bermain perempuan. Karena kemasyhuran saya sebagai seorang yang kebal (jadug) membuat orang takut kepada saya. Jika saya menginginkan uang, sering kali saya hanya memerintahkan orang yang akan menjadi korban untuk meninggalkan sejumlah uang pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan dan mereka melakukan. Pada saat itu barangkali saya adalah manusia yang paling jahat di dunia. Pada suatu hari ditahun 1949, saya ditimpa musibah. Saya mengalami sakit yang parah. Saya berobat ke beberapa dokter di Magelang. Saya juga berobat dengan banyak dukun, tetapi tidak sembuh. Selama berbulan-bulan saya hanya berbaring di tempat tidur. Sungguh tidak disangka-sangka suatu hari Kiai Chudlori, dengan ditemani dua santrinya menjenguk saya. Setelah berbicara sejenak dengan saya dan istri saya, beliau minta segelas air dan kemudian melafalkan doa di gelas tersebut. Sembari menyuruh saya minum, beliau berkata: “Sesungguhnya Anda tidak sakit, ini tidak lain hanya kehendak Tuhan untuk mengurangi dosa anda!” Saya benar-benar terpesona dengan kata-kata kiai itu sehingga saya bertanya pada beliau: mungkinkah orang seburuk saya bisa bertaubat?” Kiai menjawab “Pintu kemurahan dan belas kasih Tuhan jauh lebih besar dari dosa anda!” Mendengar jawaban semacam itu secara spontan saya menangis, tindakan yang tidak pernah saya alami dan lakukan sebelumnya. Pada saat itu pula saya mengatakan harapan saya untuk bertaubat dan menjadi seorang Muslim. Disaksikan oleh istri dan dua orang santri, Kiai Chudlori menuntun saya mengucapkan dua kalimah syahadat. Mulai saat itu saya mengakhiri kelakuan jahat dan menjadi pengikut Kiai Chudlori agar menjadi seorang Muslim yang saleh.

1 comment:

  1. Biografi kh. Chudlori ada bukunya tidak ya? menarik sekali ceritanya..

    ReplyDelete